Berdikari
Suatu siang, saya sedang potong rambut di salon
langganan. Ibu saya, yang saat itu menemani, kemudian ngobrol dengan si
kapsternya yang juga pemilik salon. Bahan obrolan yang dibicarakan
bermacam-macam, mulai dari rambut rontok, hair tonik sampai akhirnya, entah
bagaimana mulanya, membicarakan masalah pernikahan dan perceraian.
Ibu saya lalu iseng2 bertanya kepada tante pemilik salon ( sebut saja tante X), mengenai
kabar pemilik toko yang dulu langganan ibu yang juga ternyata tetangga Tante X.
Nah, dasar ibu-ibu, yang dimaksud dengan “kabar” disini bukan apakah si pemilik toko sehat dan
selamat, tapi yang dimaksud dengan “kabar”adalah apakah si pemilik toko
ini masih beristri dua dan apakah kedua
istri ini masih akur.
Tante X : “Kedua istrinya masih tinggal satu rumah bu, gak pernah
berantem, saya juga heran, tapi mereka kompak”
Ibu :” iya ta???oh ya
syukur kalo begitu, berarti keduanya berlapang dada, jarang-jarang ada yang
bisa begitu, biasanya kan istri tuanya minta di cerai”
Tante X: “oh, kalau kebiasaan di lingkungan si istri tua jarang ada yang mau cerai bu, walaupun
disakiti seperti apa oleh suaminya, lebih baik bertahan daripada bercerai.
Kalau cerai, mau hidup pakai apa. Lagipula, ya mungkin si istri tua tua itu
sebenarnya sakit hati, tapi dia memilih tidak bercerai. Katanya, Dulu waktu
menikah, dia berasal dari keluarga tidak mampu. Kalau sekarang bercerai, nanti
mau hidup dan makan dari mana bu. Jadi
ya, diperlakukan seperti apa, ya diam saja bu”
Degg…..
Saya termenung mendengar obrolan tadi,,,,seorang
perempuan rela tidak diperlakukan baik oleh suaminya karena takut tidak bisa
hidup jika berpisah dari suaminya.
Saya pun langsung
teringat dengan kata-kata adik tingkat saya. Suatu waktu dalam suatu
acara pengajian mahasiswi, moderator menanyakan kepada peserta mengenai cita-cita mereka. Ada teman yang
menjawab ingin menjadi dokter spesialis,
ada yang ingin sekolah setinggi mungkin,dan
ada yang ingin menjadi pengusaha dan
ketika sampai giliran adik tingkat saya,
dia menjawab dengan sederhana “saya ingin menjadi wanita yang berdikari, menjadi
apapun saya nanti,saya ingin bisa menopang hidup saya dan anak-anak saya kelak dengan berdiri di atas kaki saya sendiri”.
Saya mengangguk- angguk mendengarnya, setuju, namun jujur saya tidak pernah
memikirkannya secara serius . Sampai akhirnya saya mendengar perbincangan di
atas.
Berdikari, berarti wanita harus bisa mandiri. Salah
satu bentuknya adalah kemandirian ekonomi, Wanita bekerja merupakan hal yang
umum saat ini. Namun apakah hanya itu saja? Jika begitu, apakah ibu-ibu yang
tidak bekerja dan full time mother itu contoh wanita yang tidak berdikari?
Kalau menurut saya, tidak bisa dibilang begitu juga.
Apalagi kalau alasan untuk menjadi full time mother itu mulia dan cukup masuk akal,
misal ingin mengikuti penuh perkembangan anak dan fokus pada keluarga, atau merawat orang tua yang sudah sepuh..Tapi
perempuan yang bekerja juga tidak salah,kalau kerja dan keluarga bisa seimbang
dan keluarga bisa menerima dengan baik sehingga bisa mapan dalam
penghasilan,,,Why Not???
Menurut saya, yang paling penting agar perempuan bisa
berdikari adalah harus mempunyai pikiran
dan keyakinan bahwa dalam kondisi apapun kita pasti bisa bertahan.
Perempuan harus punya keberanian untuk
menolak diperlakukan tidak baik. Perempuan yang berdikari harus punya keberanian untuk melanjutkan hidup
dengan segala kemampuan diri yang dimiliki sebagai konsekuensi menolak
perlakuan tidak baik, yang artinya juga menghormati
harga diri dan martabatnya sendiri sebagai
perempuan. Perempuan berdikari tidak boleh takut menghadapi esok hari, yang itu
artinya perempuan harus mempersiapkan
diri dengan segala keilmuan,
ketrampilan, dan kemauan. Sehingga apapun yang terjadi di depan, dalam
kemungkinan yang terburuk pun , perempuan mau dan bisa bertahan dengan bekal yang sudah
dimiliki.
Entahlah,ini hanya pendapat,,,saya belum menikah,,,belum
berkeluarga,,,mungkin juga saya masih terlalu naïf, tapi saya yakin, bahwa saya
harus mempersiapkan diri…….agar saya juga bisa berdikari
110214
11.20 pm